Perjalanan Karir aktor multitalenta Didi Petet - Didi Widiatomo atau yang populer dengan nama panggung Aktor Didi Petet ini lahir di Surabaya, Jawa Timur, 12 Juli 1956. Ketertarikannya pada dunia seni peran telah terlihat sejak Didi duduk di bangku SMA. Perkenalannya dengan seniman Harry Rusli membuka jalannya untuk berkecimpung di panggung teater. Selain bersama Harry, Didi juga pernah bergabung dalam teater Koma pimpinan Nano Riantiarno.
Selain teater, bintang iklan sepeda motor ini juga menekuni seni pantomim. Ia bahkan pernah mendirikan kelompok teater pantomim dengan nama Sena&Didi Mime, bersama Sena A. Utoyo. Dari panggung pantomim, Didi kemudian memulai karirnya di tahun 1985 sebagai aktor profesional dengan membintangi film layar lebar berjudul Semua Karena Ginah. Dua tahun berselang, ia didaulat menjadi peran pendukung dalam film drama remaja berjudul Cinta Anak Zaman. Di film yang dibintangi Paramitha Rusady dan Donny Damara itulah, akting Didi mulai mencuri perhatian para kritikus film. Sebagai bentuk apresiasi terhadap bakat aktingnya, Didi dinobatkan sebagai Pemeran Pembantu Terbaik dalam ajang Festival Sutradara film Indonesia 1988.
Setelah sukses menyabet Piala Citra lewat perannya dalam film Cinta Anak Zaman, Didi Petet terus menggali potensinya sebagai aktor multitalenta. Masih di tahun yang sama, 1987, ia tampil dengan peran nyeleneh dalam film remaja laris berjudul Catatan Si Boy. Dalam film yang dibintangi Onky Alexander dan Dede Yusuf itu, Didi kebagian peran sebagai Emon yang kebanci-bancian.
Sutradara Nasri Chepy memang tak salah mempercayakan peran tersebut pada Didi. Meski pria tulen, Didi cukup piawai memerankan tokoh Emon dalam film legendaris tersebut. Boleh dibilang, Emon-lah salah satu faktor yang menyebabkan film produksi Bola Dunia Film itu laris manis. Tak heran jika film tersebut kemudian diproduksi sampai lima sekuel. Keberhasilannya membawakan tokoh Emon di film tersebut menurut Didi tak terlepas dari pengamatan dan riset yang dilakukannya. Tak ketinggalan peran sang sutradara dalam memberikan ruang kepadanya sehingga ia mampu memerankan tokoh kontroversial itu dengan sangat baik.
Film yang turut mempengaruhi gaya hidup anak muda dekade 80-an itu berhasil meraih 2 penghargaan FFI 1988, masing-masing melalui Nasri Cheppy sebagai Sutradara Terbaik, serta Dodo Zakaria sebagai Penata Musik Terbaik.
Sukses besar yang diraih Catatan Si Boy dengan Emon-nya, kemudian ikut mendorong film-film remaja lain untuk menampilkan tokoh banci. Seakan tak lengkap rasanya jika sebuah film remaja tidak menghadirkan tokoh pria kemayu di dalamnya. Maklum saja, dari cara bicara dan berpakaiannya saja, tokoh-tokoh semacam itu dianggap mampu memancing tawa penonton.
Belakangan, tokoh Emon diangkat dalam film tersendiri yakni Catatan Si Emon. Namun bukan Aktor Didi Petet lagi yang memeraninya. Alasannya, ia merasa risih memerankan tokoh banci terus menerus. Ditambah lagi, ia pernah menjadi sasaran protes anak-anaknya lantaran terlalu sering memainkan peran itu.
Didi memang aktor yang pandai menghidupkan setiap peran yang dibawakannya. Setelah lepas dari peran Si Emon, sosoknya kemudian lekat dengan Si Kabayan, pemuda lugu asal Pasundan. Sama seperti Catatan Si Boy, film yang mengambil setting kehidupan masyarakat Sunda ini mendapat sambutan meriah dari masyarakat. Karena laris, seperti yang biasa terjadi dalam dunia film, Si Kabayan pun dibuat hingga beberapa sekuel, yakni Si Kabayan Saba Kota, Si Kabayan Anak Jin, dan Si Kabayan Mencari Jodoh. Di film garapan sutradara H. Maman Firmansyah tersebut, Didi beradu akting dengan sejumlah artis cantik seperti Paramitha Rusady, Aktris Meriam Bellina, Nurul Arifin dan Desy Ratnasari.
Ketika dunia film mati suri dan dunia sinetron merebak seiring dengan tumbuhnya stasiun televisi di Tanah Air di dekade 90-an, Didi pun ikut terjun dengan membintangi sejumlah judul sinetron diantaranya Losmen, Buku Harian, Cintaku Di Rumah Susun, Primadona, Maha Kasih, dan Dunia Tanpa Koma.
Film iklan juga dirambahnya. Tak kurang dari sepuluh film iklan sudah dibintanginya. Bahkan ia kemudian mendirikan sebuah rumah produksi. Pria bertubuh subur ini aktif pula dalam sejumlah pementasan teater, seminar tentang seni peran dan mengajar di IKJ. Tak hanya dalam lingkup pendidikan formal, Didi juga kerap dimintai wejangannya oleh para pendatang baru di dunia akting.
Jika karir rekan-rekan seangkatannya mengalami penyurutan manakala memasuki usia paruh baya, eksistensi Didi di dunia film justru makin menguat. Pria yang pada tahun 2010 terpilih sebagai Duta Kereta Api ini terus terlibat dalam sejumlah judul film. Didi bermain dalam film Petualangan Sherina di tahun 2000, sebuah film anak-anak yang disebut-sebut sebagai tonggak kebangkitan kembali Sutradara film Indonesia. Kemudian film Pasir Berbisik, Emak Naik Haji, Bebek Belur, Lost in Papua, Di bawah Lindungan Kabah dan sederet judul lain.
Pada tahun 2009, berkat aktingnya dalam film Jermal, nama Didi masuk dalam dua nominasi sekaligus, yakni Pemeran Utama Pria Terfavorit, dan Pasangan Terbaik & Pasangan Terfavorit bersama Iqbal S Manurung di ajang Indonesia Movie Award (IMA). Namun, hal itu sempat memicu kontroversi lantaran dalam ajang penghargaan tersebut, selain sebagai nominator, Didi juga tercatat sebagai ketua dewan juri.
Di awal Januari 2011, Didi membintangi film Kabayan Jadi Milyuner. Tapi ia hanya kebagian peran sebagai aktor pendukung, berbeda dengan film-film Kabayan era 90-an dimana ia selalu didaulat untuk memerankan tokoh Kabayan. Sementara tokoh sentral dalam film tersebut dipercayakan kepada mantan VJ MTV, Jamie Aditya. Meski tokoh Kabayan sudah sangat melekat pada dirinya, Didi mengaku tetap rela berperan sebagai sosok Abah yang kerap beradu akting dengan Ambu yang diperankan Aktris Meriam Bellina.
Selain masih sibuk berakting dalam film, sinetron, atau teater serta menjadi bintang iklan, keseharian Didi juga diisi dengan kegiatannya sebagai dosen di almamaternya, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Dunia akting yang berjasa membesarkan namanya membuat Didi petet ingin terus berkarya dengan segala kemampuannya. Saat ditanya soal obsesinya memerankan peran-peran menantang, Didi mengaku tidak memiliki obsesi tertentu. Karena baginya berakting memerankan orang lain sudah merupakan hal yang sulit. Setiap karakter yang dimainkannya juga memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Maka dari itu, Didi tidak pernah membeda-bedakan, selama ia menikmati dan menyukai setiap peran yang ditawarkan.
Sepanjang pengalamannya berakting, Didi mengenang suatu masa sekitar tahun 80-an dimana ia memerankan tiga peran yang bisa dibilang tak biasa dalam kurun waktu yang hampir berdekatan. Pertama, ia kebagian untuk memerankan babi selama 23 hari saat manggung bersama Teater Koma. Ketika itu sebenarnya badan Didi masih kurus sehingga ia harus mengenakan busa sepanjang pertunjukan agar mirip dengan mamalia itu.
Setelah itu, ia diajak sutradara ternama, Sineas Perfilman Teguh Karya, untuk berperan sebagai seorang kakek berusia 70 tahun dalam sebuah drama TVRI, padahal ketika itu usia Didi baru menginjak 30 tahun. Yang terakhir, adalah saat ia berperan sebagai Emon di film Catatan Si Boy. Itulah kenangan yang paling berkesan buat Didi.
Di sisi lain, akting bagi ayah enam ini tak hanya sekadar sebagai penopang hidup melainkan juga merupakan sekolah kehidupan. “Hidup ini kan sandiwara, kita memainkan peran dalam kehidupan ini. Kalau kita tidak belajar akting, kita tidak pernah mengerti tentang kaidah-kaidah kehidupan, sampai dimana kita over acting, under acting, kemudian bagaimana berhubungan dengan orang lain. Itu saja sudah pelajaran hidup tersendiri. Jadi akting itu sebenarnya bukan hanya untuk orang-orang yang mau jadi aktor tapi memahami diri sendiri, untuk bisa mengembangkan diri sendiri. Ini yang saya jalankan.” kata Didi kepada wartawan.
Perkembangan industri perfilman saat ini yang jauh lebih berwarna dipandangnya dengan penuh optimis. Meski diakuinya, secara kualitas masih menganut selera pasar dan masih diwarnai dengan film-film bertema horor dan seks. Walau demikian, ia menganggap hal tersebut hanyalah merupakan bagian dari dinamika industri perfilman di Tanah Air. Didi menambahkan film dengan tema-tema seperti itu sebenarnya sudah ada dari dulu, malahan lebih vulgar lagi, hanya sekadar menjual sensualitas tubuh tanpa memperhatikan pesan yang hendak disampaikan. Genre horor berbalut seks yang belakangan kembali marak diangkat oleh para produser menurut Didi tak terlepas dari masih tingginya permintaan pasar yakni masyarakat masih menyukai hal-hal berbau mistis.
Namun sejalan dengan itu, saat ini juga semakin banyak film-film berkualitas yang memuat unsur edukasi. Bahkan menurut Didi, temanya jauh lebih variatif dibanding zaman dulu. Misalnya dari segi ceritanya, banyak sekali yang diangkat dari novel seperti film Laskar Pelangi yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karangan Andrea Hirata. Maka seiring dengan kian berkembangnya metode penulisan, film Indonesia pun ikut berkembang. Terlebih saat ini teknologi sudah semakin canggih, orang pun menjadi semakin mudah membuat film. Keadaan itu diakui Didi amat berbeda sekali di zaman keemasannya dulu. Kini yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mendatangkan penonton. Pasalnya sekarang ini banyak penonton yang enggan datang ke bioskop. Fenomena itu tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di luar negeri.
Ketika ditanya soal peran film saat ini dalam membentuk karakter bangsa, Didi menilai penonton Indonesia saat ini sudah lebih aktif dan kritis dalam memilah tontonan. Tinggal sekarang yang memegang peran adalah bagaimana pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Peran orangtua dalam menentukan mana yang baik dan tidak untuk ditonton anak-anaknya. “Saya rasa kalau hal itu bisa terjadi di keluarga yang baik dan trainingnya juga bagus, saya rasa penonton akan semakin bagus,” lanjut Didi.
Didi juga menambahkan bahwa para pemimpinlah yang seharusnya menjadi teladan dan contoh baik bagi masyarakat. Maka dari itu, ia amat prihatin dengan kian tidak pedulinya para pemimpin terhadap kondisi rakyat yang kian hari kian memprihatinkan. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri sehingga tidak ada yang bisa dicontoh, Jadi Didi berpendapat bukan hanya film yang bisa membentuk karakter bangsa namun juga pemerintah. Sedangkan film hanya memberikan sedikit pengaruh. Karena film bersifat fiktif dan lebih berfungsi sebagai hiburan semata. Kalau film dikaitkan dengan karakter bangsa, tidak akan ada orang yang menonton. Hanya saja Didi menambahkan meski lebih mengedepankan sisi hiburannya, film juga sebaiknya memuat unsur edukasi.
Belakangan, tokoh Emon diangkat dalam film tersendiri yakni Catatan Si Emon. Namun bukan Aktor Didi Petet lagi yang memeraninya. Alasannya, ia merasa risih memerankan tokoh banci terus menerus. Ditambah lagi, ia pernah menjadi sasaran protes anak-anaknya lantaran terlalu sering memainkan peran itu.
Didi memang aktor yang pandai menghidupkan setiap peran yang dibawakannya. Setelah lepas dari peran Si Emon, sosoknya kemudian lekat dengan Si Kabayan, pemuda lugu asal Pasundan. Sama seperti Catatan Si Boy, film yang mengambil setting kehidupan masyarakat Sunda ini mendapat sambutan meriah dari masyarakat. Karena laris, seperti yang biasa terjadi dalam dunia film, Si Kabayan pun dibuat hingga beberapa sekuel, yakni Si Kabayan Saba Kota, Si Kabayan Anak Jin, dan Si Kabayan Mencari Jodoh. Di film garapan sutradara H. Maman Firmansyah tersebut, Didi beradu akting dengan sejumlah artis cantik seperti Paramitha Rusady, Aktris Meriam Bellina, Nurul Arifin dan Desy Ratnasari.
Ketika dunia film mati suri dan dunia sinetron merebak seiring dengan tumbuhnya stasiun televisi di Tanah Air di dekade 90-an, Didi pun ikut terjun dengan membintangi sejumlah judul sinetron diantaranya Losmen, Buku Harian, Cintaku Di Rumah Susun, Primadona, Maha Kasih, dan Dunia Tanpa Koma.
Film iklan juga dirambahnya. Tak kurang dari sepuluh film iklan sudah dibintanginya. Bahkan ia kemudian mendirikan sebuah rumah produksi. Pria bertubuh subur ini aktif pula dalam sejumlah pementasan teater, seminar tentang seni peran dan mengajar di IKJ. Tak hanya dalam lingkup pendidikan formal, Didi juga kerap dimintai wejangannya oleh para pendatang baru di dunia akting.
Jika karir rekan-rekan seangkatannya mengalami penyurutan manakala memasuki usia paruh baya, eksistensi Didi di dunia film justru makin menguat. Pria yang pada tahun 2010 terpilih sebagai Duta Kereta Api ini terus terlibat dalam sejumlah judul film. Didi bermain dalam film Petualangan Sherina di tahun 2000, sebuah film anak-anak yang disebut-sebut sebagai tonggak kebangkitan kembali Sutradara film Indonesia. Kemudian film Pasir Berbisik, Emak Naik Haji, Bebek Belur, Lost in Papua, Di bawah Lindungan Kabah dan sederet judul lain.
Pada tahun 2009, berkat aktingnya dalam film Jermal, nama Didi masuk dalam dua nominasi sekaligus, yakni Pemeran Utama Pria Terfavorit, dan Pasangan Terbaik & Pasangan Terfavorit bersama Iqbal S Manurung di ajang Indonesia Movie Award (IMA). Namun, hal itu sempat memicu kontroversi lantaran dalam ajang penghargaan tersebut, selain sebagai nominator, Didi juga tercatat sebagai ketua dewan juri.
Di awal Januari 2011, Didi membintangi film Kabayan Jadi Milyuner. Tapi ia hanya kebagian peran sebagai aktor pendukung, berbeda dengan film-film Kabayan era 90-an dimana ia selalu didaulat untuk memerankan tokoh Kabayan. Sementara tokoh sentral dalam film tersebut dipercayakan kepada mantan VJ MTV, Jamie Aditya. Meski tokoh Kabayan sudah sangat melekat pada dirinya, Didi mengaku tetap rela berperan sebagai sosok Abah yang kerap beradu akting dengan Ambu yang diperankan Aktris Meriam Bellina.
Selain masih sibuk berakting dalam film, sinetron, atau teater serta menjadi bintang iklan, keseharian Didi juga diisi dengan kegiatannya sebagai dosen di almamaternya, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Dunia akting yang berjasa membesarkan namanya membuat Didi petet ingin terus berkarya dengan segala kemampuannya. Saat ditanya soal obsesinya memerankan peran-peran menantang, Didi mengaku tidak memiliki obsesi tertentu. Karena baginya berakting memerankan orang lain sudah merupakan hal yang sulit. Setiap karakter yang dimainkannya juga memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Maka dari itu, Didi tidak pernah membeda-bedakan, selama ia menikmati dan menyukai setiap peran yang ditawarkan.
Sepanjang pengalamannya berakting, Didi mengenang suatu masa sekitar tahun 80-an dimana ia memerankan tiga peran yang bisa dibilang tak biasa dalam kurun waktu yang hampir berdekatan. Pertama, ia kebagian untuk memerankan babi selama 23 hari saat manggung bersama Teater Koma. Ketika itu sebenarnya badan Didi masih kurus sehingga ia harus mengenakan busa sepanjang pertunjukan agar mirip dengan mamalia itu.
Setelah itu, ia diajak sutradara ternama, Sineas Perfilman Teguh Karya, untuk berperan sebagai seorang kakek berusia 70 tahun dalam sebuah drama TVRI, padahal ketika itu usia Didi baru menginjak 30 tahun. Yang terakhir, adalah saat ia berperan sebagai Emon di film Catatan Si Boy. Itulah kenangan yang paling berkesan buat Didi.
Di sisi lain, akting bagi ayah enam ini tak hanya sekadar sebagai penopang hidup melainkan juga merupakan sekolah kehidupan. “Hidup ini kan sandiwara, kita memainkan peran dalam kehidupan ini. Kalau kita tidak belajar akting, kita tidak pernah mengerti tentang kaidah-kaidah kehidupan, sampai dimana kita over acting, under acting, kemudian bagaimana berhubungan dengan orang lain. Itu saja sudah pelajaran hidup tersendiri. Jadi akting itu sebenarnya bukan hanya untuk orang-orang yang mau jadi aktor tapi memahami diri sendiri, untuk bisa mengembangkan diri sendiri. Ini yang saya jalankan.” kata Didi kepada wartawan.
Perkembangan industri perfilman saat ini yang jauh lebih berwarna dipandangnya dengan penuh optimis. Meski diakuinya, secara kualitas masih menganut selera pasar dan masih diwarnai dengan film-film bertema horor dan seks. Walau demikian, ia menganggap hal tersebut hanyalah merupakan bagian dari dinamika industri perfilman di Tanah Air. Didi menambahkan film dengan tema-tema seperti itu sebenarnya sudah ada dari dulu, malahan lebih vulgar lagi, hanya sekadar menjual sensualitas tubuh tanpa memperhatikan pesan yang hendak disampaikan. Genre horor berbalut seks yang belakangan kembali marak diangkat oleh para produser menurut Didi tak terlepas dari masih tingginya permintaan pasar yakni masyarakat masih menyukai hal-hal berbau mistis.
Namun sejalan dengan itu, saat ini juga semakin banyak film-film berkualitas yang memuat unsur edukasi. Bahkan menurut Didi, temanya jauh lebih variatif dibanding zaman dulu. Misalnya dari segi ceritanya, banyak sekali yang diangkat dari novel seperti film Laskar Pelangi yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karangan Andrea Hirata. Maka seiring dengan kian berkembangnya metode penulisan, film Indonesia pun ikut berkembang. Terlebih saat ini teknologi sudah semakin canggih, orang pun menjadi semakin mudah membuat film. Keadaan itu diakui Didi amat berbeda sekali di zaman keemasannya dulu. Kini yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mendatangkan penonton. Pasalnya sekarang ini banyak penonton yang enggan datang ke bioskop. Fenomena itu tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di luar negeri.
Ketika ditanya soal peran film saat ini dalam membentuk karakter bangsa, Didi menilai penonton Indonesia saat ini sudah lebih aktif dan kritis dalam memilah tontonan. Tinggal sekarang yang memegang peran adalah bagaimana pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Peran orangtua dalam menentukan mana yang baik dan tidak untuk ditonton anak-anaknya. “Saya rasa kalau hal itu bisa terjadi di keluarga yang baik dan trainingnya juga bagus, saya rasa penonton akan semakin bagus,” lanjut Didi.
Didi juga menambahkan bahwa para pemimpinlah yang seharusnya menjadi teladan dan contoh baik bagi masyarakat. Maka dari itu, ia amat prihatin dengan kian tidak pedulinya para pemimpin terhadap kondisi rakyat yang kian hari kian memprihatinkan. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri sehingga tidak ada yang bisa dicontoh, Jadi Didi berpendapat bukan hanya film yang bisa membentuk karakter bangsa namun juga pemerintah. Sedangkan film hanya memberikan sedikit pengaruh. Karena film bersifat fiktif dan lebih berfungsi sebagai hiburan semata. Kalau film dikaitkan dengan karakter bangsa, tidak akan ada orang yang menonton. Hanya saja Didi menambahkan meski lebih mengedepankan sisi hiburannya, film juga sebaiknya memuat unsur edukasi.
Jumat 15 mei 2015 artis yang pernah membintangi sinetron Preman Pensiun meninggal Dunia pada usia 58 tahun di rumah sakit. Didi Petet Meninggal dunia di karenakan sakit dan disemayamkan di rumah duka di Jalan Bambu Apus, No 76, Sasak Tinggi, Ciputat.
Semoga karya-karya beliau selalu dikenang oleh masyarakat indonesia
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/3441-dari-emon-hingga-kabayan
0 Response to "Perjalanan Karir aktor multitalenta Didi Petet "
Posting Komentar